Malam hari adalah waktu
yang sangat panjang. Cahaya lampu berkerlap- kerlip disekitar jalanan.
Keramaian kota kian menyepi. Setelah senja menggeser matahari, dunia menjadi milikku
dan kegelapan tengah malam pun mengakui kekuatanku.
Kulihat satu lagi
sebuah zaman baru dengan modernisasi sebagai misinya. Kurasakan kota tua
sebagai persembunyianku ini semakin dipenuhi kejayaan peradaban maju. Walaupun
kudapati diriku hanya dapat berjalan di kegelapan, setiap perubahan itu nyata
adanya.
Pagi hari adalah
gerbang sebuah dunia yang menajubkan dengan keajaiban dimana- mana. Matahari di
langit membuat separuh hari secerah suasana yang dipancarkannya. Keberadaanku
berada di bayang- bayang gelap. Cahaya belum menemukanku disini.
Kutunggu satu hal
terjadi sebelum membaringkan diriku sejenak. Sebuah jendela dengan gorden berwarna
gelap yang menutupi, menjadi celahku untuk menantinya, menengok ke sebuah kolam
air mancur di tengah kota yang dapat menggiurkan banyak orang yang kehausan.
Disanalah dia berkilauan di bawah spektrum- spektrum cahaya yang dapat
membunuhku.
Seorang gadis, tampaknya
tak begitu istimewa dan sering diabaikan keberadaannya, berdiri dengan membawa sekeranjang
penuh mawar. Hingga matahari meninggi, orang- orang terlalu sibuk dengan
pekerjaannya, gadis itu belum beranjak dari sana. Satu atau dua orang sesekali
mendekatinya dan dia memberikan bunganya. Tetapi keranjangnya masih terlihat
penuh. Lalu entah apa yang terjadi sementara mentari memaksaku untuk
bersembunyi dalam bayangan kembali.
Sudah lama kuperhatikan
dirinya. Ada detakan lemah melesat dengan kecepatan cahaya saat kucoba menghela
napas seperti yang dapat kulakukan pada ratusan tahun sebelumnya. Mungkin hanya
seorang gadis penjual bunga yang selalu diabaikan dan tak pernah dipedulikan
oleh hampir seisi kota ini. Tetapi ini adalah perasaan klasik seperti saat aku menantikan
kekasihku, seorang gadis bangsawan nan cantik pada masaku. Terbesit dalam
benakku masalah tentang reinkarnasi. Sangat aneh, namun populasi di dunia ini
malah semakin bertambah.
Pernah pula ingin
memangsanya. Namun rasa tak rela itu mampu melebihi kekuatanku. Aku menjadi
semakin peduli dan terobsesi padanya. Hingga suatu malam kuabaikan pembatas-
pembatas antara kehidupanku dan kehidupannya. Kudekati dia..
Gadis itu membalikkan
badannya kearahku. Kami sama- sama terkejut! Tapi tak berapa lama dia tersenyum
padaku. Lalu kupinta setangkai mawar yang tersisa di keranjangnya dengan
mahkota bunga semerah darah. Mawar itu seolah menjalankan metabolisme dalam
tubuhku. Sangat harum. Aromanya mengeringkan tenggorokanku. Rasa haus yang
kurasakan semakin membutuhkan pelayanan. Aku tak akan bisa bertahan lebih lama
disekitarnya.
“ Kau lupa dengan uang
kembaliannya,” katanya saat kutinggalkan dia beberapa langkah.
Tenggorokanku telah
dilanda kekeringan yang amat sangat. “ Ambil saja,” suaraku serak.
“ Terimakasih. Kau baik
sekali.”
…
Hari- hari berikutnya
masih kutemui dirinya. Gadis itu selalu menyuguhkan senyuman klasiknya padaku
saat dia tahu aku mendekatinya. Senyumannya sangat manis bahkan lebih manis
daripada aroma bunga manapun.
“ Kau tinggal dimana?”
tanyanya.
Setiap kali dia berkata
padaku, kurasakan seolah alam semesta mengembalikan jiwaku. “ Disana..” kutunjuk
bangunan tua di sebelah timur.
“ Benarkah kau tinggal
disana?”
“ Yeah,” anggukku.
“ Apa ada hal yang
aneh?” tanyanya lagi.
“ Tidak,” senyumku.
Kemudian dia bergumam
sendiri, “ Ah, lagipula itu hanya mitos..”
Dia benar. Keberadaanku
adalah mitos dikalangan masyarakat masa kini. Mungkin saja akan menjadi cerita
yang sangat mengerikan baginya. Bagaimana kalau dia mengetahui siapa diriku
yang sebenarnya?
“ Kelihatannya kau
sangat tegang. Apa aku menakutimu?” gadis ini membuyarkan pikiranku.
“
Maaf. Aku ada pekerjaan malam ini,” aku pun pergi dengan sedikit kewaspadaan
akan kemungkinan kecurigaannya tentang keberadaan makhluk sepertiku di gedung
tersebut.
…
Matahari senja telah
tenggelam sangat dalam ke belahan dunia yang lain. Entah aku telah melanggar
berapa ribu aturan bahkan takdirku dan takdirnya, namun selalu kudatangi dia
setiap malam walaupun indentitasku semakin terancam. Aku benar- benar tidak
bisa membiarkannya jauh dari jangkauanku.
“ Boleh kutahu untuk
siapa kau membeli bunga- bungaku?” tanyanya suatu kali.
Kuperhatikan dirinya
yang amat sangat kelelahan. Rambutnya yang seharusnya tergerai lembut dan tersibak
indah tertiup semilir angin malam hanya berkutik sedikit. Matanya berair dan kantung
matanya semakin gelap. Namun aku tak pernah mempedulikan bagaimana rupanya
selama ini. Dialah gadis yang membangkitkan jiwa di batinku, memberikan nafas
untuk mencium kehidupan sekali lagi. Membuatku ingin selalu menjaganya untukku
selamanya.
“ Kau sedang apa?”
sepertinya dia malu karena kelakuanku.
“ Kau bisa marah?”
tanyaku sambil memalingkan pandangan.
“ Terkadang. Tetapi
tidak. Aku tak bisa marah,” dia menghela napas.
Kurasakan pada helaan
napasnya memacu fungsi paru- paruku kembali. “ Baiklah. Bungamu hanya kubeli
dan kubiarkan kering di kamarku,” biar kulihat bagaimana raut wajahnya setelah
mencerna baik- baik kalimatku. Dan dialah orang teraneh di dunia yang pernah kutemui.
Apa yang dia pancarkan dengan raut wajah kekanak- kanakan seperti itu?
“ Begitu?” dia tertawa polos,
menghanyutkanku lebih dalam pada rasa penasaranku. Dia benar- benar membuatku bingung
menuju kematian.
“ Apa kau tidak marah?”
Gadis itu menggelengkan
kepalanya. “ Apa kau memiliki kekasih?” sejenak dia menerawang langit malam
yang mendung.
“ Tidak. Sudah lama dia
meninggalkanku,” lalu dia memandangku dengan raut wajah meragukanku. “ Kau hanya perlu tahu bahwa di akhir
waktu dia ada di neraka.”
“ Apa yang kau
bicarakan?”
“ Dia bunuh diri.”
Selama beberapa detik gadis
itu menunduk, mengigit bibirnya kemudian memandangku lagi. “ Maafkan aku. Aku
turut berduka,” katanya lirih bagaikan bisikan nina bobo malaikat dari dimensi
nun jauh.
“ Kami sangat percaya pada kekuatan cinta itu
sendiri. Aku yakin kami akan bertemu disana.”
“ Kau tidak akan bunuh
diri juga, kan?” tanyanya sangsi.
Tanpa sengaja keluar
suara tawa kecil, mengejek, beresonasi kejam di perbatasan ruang dan waktu
kami. Kurasa gadis itu kecewa. Dia kecewa dan diam.
...
Beberapa hari berlalu,
kucoba mengabaikannya. Bahkan ketika waktu tidurku menyatu kembali pada alam
raya. Segalanya menjadi lebih gelap. Aku pun lapar dan semakin brutal. Entah
ada berapa banyak warga kota kini telah mati kekeringan darah karenaku. Walaupun
begitu aku selalu mengawasinya, bersembunyi di waktu yang kupikir tak tepat
bagiku untuk menampakkan diriku sendiri.
“ Apa kau sakit parah?”
“ Kenapa kau berpikir
begitu?” aku bertanya balik.
“ Kau tak sering
menemuiku akhir- akhir ini. Bahkan.. kuperhatikan dirimu saat pertama kali, kau
tampak tak sehat.”
“ Menurutmu penyakit
apa?” godaku.
“ Mana aku tahu,”
katanya ngeri.
“ Tebaklah!”
“ Leukimia?” dia tidak
begitu yakin.
Kupalingkan wajahku
pada tiang lampu di sekitar kolam air mancur dan tertawa sejadinya.
“ Jangan membuatku khawatir..”
dia hampir menangis.
Setelah kukembalikan
fokusku padanya, kutatap matanya. “ Seharusnya aku sudah mati dari dulu, kan?”
Sepertinya dia kesal
dengan permainanku.
“ Baik. Maafkan aku.
Tapi sekarang aku terlihat baik- baik saja, kan?” senyumku.
Dia melirik lalu menghela
napas, “ Jadi kenapa?”
“ Tidak apa- apa.”
“ Kau bohong padaku!”
katanya kecewa.
“ Baiklah,” aku tak
pernah berharap melihatnya kecewa padaku seperti itu, “Apa kau percaya dengan mitos
yang diceritakan orang akhir- akhir ini?”
“ Tidak. Ini doktrinasi
sejak kecil. Aku tidak suka hal- hal yang berbau metafisik,” jelasnya.
“ Jadi kau belum pernah
ketakutan melihat hantu dan semacamnya?” tanyaku lagi.
“ Ya.. Jadi kenapa?”
dia tertawa frustasi. “ Dengarkan aku. Ketakutan itu hanya ada di pikiranmu..”
salah satu tangannya bergerak hampir menyentuh kepalaku. Maksudku ingin
menepisnya agar dia tidak menyentuhku, namun tangan kami bersinggungan.
Jeda. Dia diam sesaat
dengan segala proses pemikirannya.
“ Kau dingin,” ekspresi
wajahnya berubah seketika. Dia begitu terkejut, sementara aku khawatir dalam
diam.
“
Brisa..” bisikku. Tetapi tangannya sudah bergerak menelusuri
lenganku dan berhenti di pipiku.
“ Apa yang terjadi? Apa
yang selama ini kau lakukan?” tanyanya sambil melakukan hal yang sama padanya.
Kukira dia berpikir bahwa selama ini aku bekerja keras hingga demam.
Sesaat aku diam tak
bergeming. Dia mungkin akan sangat kecewa. Tidak. Dia akan ketakutan dalam
periode waktu yang lama. Tak pernah disangkanya dia yang tak pernah keluar dari
pikiran rasionalnya mendapati dirinya bercengkerama dengan iblis. Bahkan
mungkin dicintai sang iblis.
Ketakutanku semakin
menjadi- jadi. Apakah dia akan meninggalkanku jika dia tahu? Apakah aku akan
menjadi kisah nyata yang sangat mengerikan untuk diingat baginya? Brisa
pemberani, tetapi dia tidak pernah menjumpai hal- hal semacam ini.
“ Aku tak mempunyai pekerjaan. Aku tak
melakukan apa- apa. Aku pemangsa. Aku brutal juga rentan. Aku tak dapat keluar
di siang hari karena kulitku..” kataku dalam bisikan, “ Sinar matahari dapat
membakarnya hingga membunuhku.”
Dia menarik tangannya
kembali dengan gemetar. Gadis ini kelihatan hancur, ketidak-percayaan terpancar
dari wajah yang kelelahan itu. Rupanya ketidakpatuhanku pada aturan kami selama
ini membuatku semakin sekarat.
“ I- ini tidak mungkin..” kata- kata yang
keluar dari mulutnya terasa getir untuk dirinya sendiri ucapkan. Kuperhatikan
bagaimana dia semakin ketakutan setiap detiknya. Hingga akhirnya dia berhasil beranjak
pergi bersama keranjangnya meninggalkanku mematung sepi.
Memang benar inilah
akhirnya, aku menyesal telah mengatakannya. Tidak akan pernah ada waktu dan
kondisi yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya padanya. Aku juga tak mampu
membayangkan kalau gadis itu merelakan jiwanya hanya karena diriku. Zaman
mungkin mempengaruhi pemikiran soal cinta tidaklah sesempit pandangan Romeo dan
Juliet.
…
Malam- malam
selanjutnya kulalui sendirian dengan berjalan menyusuri jalanan kota yang
sangat sepi. Lampu- lampu pertokoan mati memperjelas lukisan nyata langit di
alun- alun kota. Brisa tidak menampakkan dirinya lagi setelah malam itu. Dia
tahu sekarang. Kami adalah dua makhluk yang bertolak belakang, aku pemangsa dan
dialah mangsaku. Begitulah seharusnya takdir kami.
Begitu suatu malam tiba
ketika bulan hampir memasuki masa baru. Kulihat sosok yang beberapa waktu ini kurindukan.
Dia berdiri jauh di tengah keramaian malam. Seketika matanya menangkapku. Aku tersenyum.
“ Kita bertemu disaat
yang tepat,” kata- kata itu terasa sulit saat diucapkannya. Sekali lagi, air
mukanya memang sulit untuk diterjemahkan. “ Aku sudah tidak menjual mawar
lagi,” tersirat bahwa dia ingin mengatakan sesuatu yang amat sangat kubenci. “
Aku akan menikah.. minggu depan.”
Ujung bibirku menarik
sengaja, lebih seperti mengeluarkan ejekan egois. “ Bagus.”
Mata Brisa berkaca-
kaca dan berusaha menyembunyikan itu.
“ Sebelumnya menjelang siang.. Aku mau melihatmu,”
kataku.
“ Kau tidak akan bisa melawan
matahari,” katanya.
Aku menarik ujung
bibirku lagi. “ Disini, Brisa.”
Sayangnya dia menghindar
untuk menatapku lekat- lekat. “ Aku tidak ingin berjanji padamu,” kata Brisa
mengenaskan. Matanya yang merupakan jelmaan bintang fajar memijar sepi, meredup,
dan dalam sekejap akan menghilang akibat tabrakan bintang. Gadis itu pun pergi
bersama angin yang mengusap air matanya.
…
Siang itu sebagian
permukaan bumi tertutup bayangan bulan. Setelah menunggu dengan putus asa, Brisa
muncul dengan blazer tua warna merah dan genggaman di balik tubuhnya.
Dibenaknya tersimpan banyak praduga, dapat kubaca itu.
Brisa mendekat. Tak
kusangka dia tersenyum dengan senyuman itu. Senyumnya lebih merona dibandingkan
saat malam- malam yang telah terukir nyata di luasnya memoriku. Namun hanya
terhitung beberapa detik sudah bayangannya menembus sistem penglihatanku lalu
terpenjara dalam memori otakku disaat redupnya kekuatan mentari yang memberikanku
kesempatan terakhir.
Hingga waktunya sudah
hampir lebih dari yang tata surya ini berikan kepadaku. Kepalaku menengadah
kepada mentari yang tak pernah dapat berteman denganku. Lalu kudengar suaranya bergetar
bagaikan refrain sebuah lagu kematian. Dan kutahu perlahan bulan bergeser
membiarkan sinar matahari melukaiku..
Tiba- tiba sebuah
bayangan menghalangi proses kematianku. Bayangan yang benar- benar meneduhkan
makhluk yang tak dapat diterima ini.
Tubuh beserta gagang
payung yang dia pegang menghantamku, “ Jangan, Viktor! Aku ingin bersamamu. Lupakan
pernikahanku! Aku juga tidak peduli kau akan bersamanya di neraka. Aku hanya
ingin kau selalu di dekatku selagi aku menemukanmu ada di dunia ini.”
Kuraih wajahnya. Hangat.
Kehangatan bintang terbesar di seluruh jagat raya ini mengalir dari ujung
jemariku, naik ke ruas- ruas jariku hingga memecahkan heningnya degup jantung
tua yang akhirnya terasa bahwa selama ini bekunya luar biasa.