Minggu, 18 Agustus 2013

KEMISKINAN DI JEPANG

Jepang pernah hancur dan porak- poranda dalam perang dunia II akibat pengeboman Amerika Serikat terhadap dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki. Di masa ini Jepang telah bangkit kembali dan berubah menjadi salah satu macan di Asia sebagai negara yang maju dan modern.


Namun di tengah hiruk- pikuk kemajuan Jepang itu, masih adakah orang miskin disana?

Mungkin dan tidak mungkin. Di Jepang sendiri sebagai negara yang terpandang sangat maju pun ada kemiskinan walaupun kecil angkanya.

Masyarakat Kelas Menengah
Mitos mengenai “Jepang sebagai masyarakat setara” telah tertanam begitu kuat dalam benak masyarakat, kesadaran tentang kemiskinan sebagai suatu masalah sosial di Jepang menjadi sangat rendah. Karena identitas “kelas menengah” begitu mengakarnya, isu kemiskinan dan ketidaksetaraan tidak menjadi bagian dari agenda politik nasional sepanjang 1970an hingga 1980an, dikarenakan perkembangan ekonomi Jepang yang mencapai dua digit dan standar hidup yang meningkat pesat. Keefektifan kebijakan sosial dalam memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan tak pernah dipertanyakan, dan kemiskinan pun “terlupakan”. Pemerintah tidak lagi mengumpulkan data statistik terkait kemiskinan sejak tahun 1960an, dan bahkan hingga sekarang tidak ada statistik resmi angka kemiskinan di Jepang.

Kemiskinan menjadi isu belakangan di tahun ini. Pada pertengahan 2000an, angka kemiskinan relatif di Jepang tercatat sekitar 15 persen. Masyarakat Jepang kebanyakan tidak menyadari tentang “kemiskinan” di sekitar mereka, karena orang-orang miskin yang bermunculan acap kali “tak terlihat”, dalam artian bahwa standar kehidupan mereka rendah.

Kondisi Sosial
Berdasarkan beberapa artikel yang telah kami baca, berikut merupakan gambaran sekilas tentang kondisi orang- orang miskin di Jepang.

Beberapa waktu yang lalu kita pernah dikejutkan dengan berita kematian seluruh anggota sebuah keluarga di sebuah apartemen di Jepang dengan kondisi mayat- mayatnya sudah membusuk. Diduga bahwa kelaparanlah atau bunuh diri yang telah menyebabkan kematian mereka.

Keluarga tersebut tidak termasuk keluarga yang terdaftar keluarga miskin yang rutin dikunjungi oleh pemerintah. Orang- orang yang tinggal disekitar pun tidak pernah mengetahui bahwa apartemen tersebut ternyata ditempati. Mungkin karena keluarga itu malu menunjukkan diri bahwa standar kehidupan keluarga itu rendah. Dilaporkan seorang tetangga pernah membujuk untuk menghubungi dinas bantuan saat si ibu dari keluarga tersebut meminjam uang setahun sebelum kematiannya.

"Sejumlah orang berupaya untuk tidak mau menerima bantuan atau mengontak pemerintah daerah setempat," kata seorang pengamat sosial Takeshiro Yoshida kepada koran Asahi Shimbun.

Seperti halnya di Indonesia, di Jepang ada pula tunawisma yang meminta- minta. Setiap malam ada diantara mereka yang tidur di ruang terbuka, seperti trotoar, depan stasiun, emperan toko, ada pula yang mendirikan tenda di gang- gang buntu atau di taman.

Dimanapun, tetapi khususnya, di Jepang kemiskinan berujung kepada kematian, lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan sejak tahun 2000, menurut departemen kesehatan. Bulan lalu, dua kakak beradik perempuan berusia 40-an -salah seorang diantaranya cacat mental- ditemukan meninggal karena kedinginan di Hokkaido.

Banyak pihak yang khawatir angka ini akan meningkat karena tingginya angka penggangguran pada pria setengah baya dan juga dampak bencana tsunami dan gempa 11 Maret beberapa tahun lalu.

Ketenaga- kerjaan
Satu dari setiap tiga pekerja di Jepang sekarang memiliki pekerjaan yang tidak teratur. Sementara beberapa pekerja tidak mau pekerjaan tetap, banyak dari mereka. Menghadapi masalah mereka sendiri karena resesi, banyak bisnis telah melepas banyak pekerja yang tidak teratur. Banyak orang di usia 20-an dan 30-an tidak dapat menemukan pekerjaan permanen.

Generasi Jepang berusia 39 tahun ke bawah banyak yang memilih bekerja paruh waktu atau sistem kontrak. Dibandingkan pekeraan tetap yang memberikan jaminan yang lebih baik, posisi mereka sangat rentan ketika terjadi krisis ekonomi karena status pekerjaan yang tidak tetap. Jika sewaktu- waktu terjadi krisis mereka dapat diberhentikan dari pekerjaan tersebut.

Ekonomi

Angka-angka dari tahun 2007 menceritakan kisah menakutkan di antara jutaan dari 45.430.000 orang yang bekerja sepanjang tahun. Di bagian bawah, 3.660.000 orang memperoleh ¥ 1.000.000 atau kurang. Bergerak naik menjadi antara 1 dan 2 juta yen, ada 6.660.000 orang. Sebanyak 10,32 juta orang mendapat dibawah 2 juta yen untuk tahun ini, jumlah yang sangat kecil di Jepang. Sebagian ekonomi telah terus menurun, jumlah ini mungkin jauh lebih besar sekarang.

Sebelum terkena tsunami, ekonomi Jepang telah menyimpan masalah serius. Mereka menderita penyakit 3D, yaitu Depression, Deflation, dan Demographic. Ekonominya mengalami Depresi dan terjebak dalam Deflasi yang berkepanjangan, sementara populasinya menua (Demografi). Saat terkena tsunami, mereka mendapat derita dua tambahan “D” lagi, yaitu Disaster dan Destruction. Gabungan 5D tersebut dapat membawa masalah besar yang berujung pada penyakit persisten ke 6 yang selama ini menggayuti ekonomi Jepang, yaitu DEBT (hutang).

Kebijakan dan Strategi Pemerintah Jepang

Berikut merupakan bunyi dari konstitusi di Jepang, Pasal 25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of wholesome and cultured living. In all spheres of life, the state shall use its endeavors for the promotion and extension of social welfare and security, and public health.

Ternyata pasal 25 di dalam konstitusi Jepang memiliki bunyi yang mirip dengan pasal yang sangat terkenal dalam konstitusi Indonesia, yaitu pasal 34 UUD 1945: (1) Fakir miskin dan anak- anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Cetak biru utama kebijakan sosial Jepang adalah skema asuransi sosial semesta, yang dilengkapi dengan program-program kesejahteraan dan bantuan sosial lainnya yang relatif kecil. Empat program asuransi sosial Jepang adalah: Dana Pensiun (diberikan bagi pensiunan, penyandang cacat, dan bagi korban kecelakaan yang selamat), Asuransi Kesehatan Publik, Tunjangan Pengangguran, dan Perlindungan Jangka Panjang. Bahkan jaminan sosial juga diberikan kepada warga asing bukan penduduk tetap Jepang.


Namun sistem perlindungan sosial dan sistem pajak di Jepang tidak seefektif di negeri-negeri lain dalam hal mengurangi ketidaksetaraan dan, terutama, kemiskinan. Hal ini dikarenakan sistem perlindungan sosial Jepang pada umumnya didasarkan pada program asuransi sosial. Lebih dari 70% anggaran untuk program perlindungan sosial diperuntukkan untuk program asuransi sosial kelompok lanjut usia. Sistem asuransi kesehatan publik dan dana pensiun menghabiskan porsi terbesar pengeluaran dana keamanan sosial, atau hingga 24% dari total pendapatan nasional.

Oleh sebab itu perpindahan dana umumnya bersifat antar-generasi, dalam arti bahwa itu terjadi dari kelompok usia kerja menuju kelompok lanjut usia, bukan dari yang kaya menuju yang miskin. Juga, manfaat yang didapat dari skema asuransi sosial tidak selalu bersifat progresif. Manfaat tersebut didapatkan seseorang atas dasar kontribusi orang bersangkutan sebelumnya (dalam arti dihitung dari premi yang pernah ia bayarkan sebelumnya) dan bukan didasarkan pada “tingkat kebutuhan”. Itulah sebabnya, individu- individu miskin yang tidak berkontribusi banyak tidak dapat menerima manfaat perlindungan sosial yang sama dengan individu- individu yang lebih kaya.

Ini merupakan tugas kelompok untuk Ilmu Sosial Dasar. Dikumpulkan dari berbagai sumber :)

1 komentar:

  1. Is not there anyone who asks for forgiveness, so I forgive him?
    Is not there anyone who asked for sustenance, so I gave him sustenance?
    bandar togel indonesia

    BalasHapus