Senin, 29 Juli 2013

Ultraviolet- Metamorphic Version


Malam hari adalah waktu yang sangat panjang. Cahaya lampu berkerlap- kerlip disekitar jalanan. Keramaian kota kian menyepi. Setelah senja menggeser matahari, dunia menjadi milikku dan kegelapan tengah malam pun mengakui kekuatanku.
Kulihat satu lagi sebuah zaman baru dengan modernisasi sebagai misinya. Kurasakan kota tua sebagai persembunyianku ini semakin dipenuhi kejayaan peradaban maju. Walaupun kudapati diriku hanya dapat berjalan di kegelapan, setiap perubahan itu nyata adanya.
Pagi hari adalah gerbang sebuah dunia yang menajubkan dengan keajaiban dimana- mana. Matahari di langit membuat separuh hari secerah suasana yang dipancarkannya. Keberadaanku berada di bayang- bayang gelap. Cahaya belum menemukanku disini.
Kutunggu satu hal terjadi sebelum membaringkan diriku sejenak. Sebuah jendela dengan gorden berwarna gelap yang menutupi, menjadi celahku untuk menantinya, menengok ke sebuah kolam air mancur di tengah kota yang dapat menggiurkan banyak orang yang kehausan. Disanalah dia berkilauan di bawah spektrum- spektrum cahaya yang dapat membunuhku.
Seorang gadis, tampaknya tak begitu istimewa dan sering diabaikan keberadaannya, berdiri dengan membawa sekeranjang penuh mawar. Hingga matahari meninggi, orang- orang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, gadis itu belum beranjak dari sana. Satu atau dua orang sesekali mendekatinya dan dia memberikan bunganya. Tetapi keranjangnya masih terlihat penuh. Lalu entah apa yang terjadi sementara mentari memaksaku untuk bersembunyi dalam bayangan kembali.
Sudah lama kuperhatikan dirinya. Ada detakan lemah melesat dengan kecepatan cahaya saat kucoba menghela napas seperti yang dapat kulakukan pada ratusan tahun sebelumnya. Mungkin hanya seorang gadis penjual bunga yang selalu diabaikan dan tak pernah dipedulikan oleh hampir seisi kota ini. Tetapi ini adalah perasaan klasik seperti saat aku menantikan kekasihku, seorang gadis bangsawan nan cantik pada masaku. Terbesit dalam benakku masalah tentang reinkarnasi. Sangat aneh, namun populasi di dunia ini malah semakin bertambah.
Pernah pula ingin memangsanya. Namun rasa tak rela itu mampu melebihi kekuatanku. Aku menjadi semakin peduli dan terobsesi padanya. Hingga suatu malam kuabaikan pembatas- pembatas antara kehidupanku dan kehidupannya. Kudekati dia..
Gadis itu membalikkan badannya kearahku. Kami sama- sama terkejut! Tapi tak berapa lama dia tersenyum padaku. Lalu kupinta setangkai mawar yang tersisa di keranjangnya dengan mahkota bunga semerah darah. Mawar itu seolah menjalankan metabolisme dalam tubuhku. Sangat harum. Aromanya mengeringkan tenggorokanku. Rasa haus yang kurasakan semakin membutuhkan pelayanan. Aku tak akan bisa bertahan lebih lama disekitarnya.
“ Kau lupa dengan uang kembaliannya,” katanya saat kutinggalkan dia beberapa langkah.
Tenggorokanku telah dilanda kekeringan yang amat sangat. “ Ambil saja,” suaraku serak.
“ Terimakasih. Kau baik sekali.”
Hari- hari berikutnya masih kutemui dirinya. Gadis itu selalu menyuguhkan senyuman klasiknya padaku saat dia tahu aku mendekatinya. Senyumannya sangat manis bahkan lebih manis daripada aroma bunga manapun.
“ Kau tinggal dimana?” tanyanya.
Setiap kali dia berkata padaku, kurasakan seolah alam semesta mengembalikan jiwaku. “ Disana..” kutunjuk bangunan tua di sebelah timur.
“ Benarkah kau tinggal disana?”
“ Yeah,” anggukku.
“ Apa ada hal yang aneh?” tanyanya lagi.
“ Tidak,” senyumku.
Kemudian dia bergumam sendiri, “ Ah, lagipula itu hanya mitos..”
Dia benar. Keberadaanku adalah mitos dikalangan masyarakat masa kini. Mungkin saja akan menjadi cerita yang sangat mengerikan baginya. Bagaimana kalau dia mengetahui siapa diriku yang sebenarnya?
“ Kelihatannya kau sangat tegang. Apa aku menakutimu?” gadis ini membuyarkan pikiranku.
“ Maaf. Aku ada pekerjaan malam ini,” aku pun pergi dengan sedikit kewaspadaan akan kemungkinan kecurigaannya tentang keberadaan makhluk sepertiku di gedung tersebut.
Matahari senja telah tenggelam sangat dalam ke belahan dunia yang lain. Entah aku telah melanggar berapa ribu aturan bahkan takdirku dan takdirnya, namun selalu kudatangi dia setiap malam walaupun indentitasku semakin terancam. Aku benar- benar tidak bisa membiarkannya jauh dari jangkauanku.
“ Boleh kutahu untuk siapa kau membeli bunga- bungaku?” tanyanya suatu kali.
Kuperhatikan dirinya yang amat sangat kelelahan. Rambutnya yang seharusnya tergerai lembut dan tersibak indah tertiup semilir angin malam hanya berkutik sedikit. Matanya berair dan kantung matanya semakin gelap. Namun aku tak pernah mempedulikan bagaimana rupanya selama ini. Dialah gadis yang membangkitkan jiwa di batinku, memberikan nafas untuk mencium kehidupan sekali lagi. Membuatku ingin selalu menjaganya untukku selamanya.
“ Kau sedang apa?” sepertinya dia malu karena kelakuanku.
“ Kau bisa marah?” tanyaku sambil memalingkan pandangan.
“ Terkadang. Tetapi tidak. Aku tak bisa marah,” dia menghela napas.
Kurasakan pada helaan napasnya memacu fungsi paru- paruku kembali. “ Baiklah. Bungamu hanya kubeli dan kubiarkan kering di kamarku,” biar kulihat bagaimana raut wajahnya setelah mencerna baik- baik kalimatku. Dan dialah orang teraneh di dunia yang pernah kutemui. Apa yang dia pancarkan dengan raut wajah kekanak- kanakan seperti itu?
“ Begitu?” dia tertawa polos, menghanyutkanku lebih dalam pada rasa penasaranku. Dia benar- benar membuatku bingung menuju kematian.
“ Apa kau tidak marah?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “ Apa kau memiliki kekasih?” sejenak dia menerawang langit malam yang mendung.
“ Tidak. Sudah lama dia meninggalkanku,” lalu dia memandangku dengan raut wajah meragukanku. “ Kau hanya perlu tahu bahwa di akhir waktu dia ada di neraka.”
“ Apa yang kau bicarakan?”
“ Dia bunuh diri.”
Selama beberapa detik gadis itu menunduk, mengigit bibirnya kemudian memandangku lagi. “ Maafkan aku. Aku turut berduka,” katanya lirih bagaikan bisikan nina bobo malaikat dari dimensi nun jauh.
 “ Kami sangat percaya pada kekuatan cinta itu sendiri. Aku yakin kami akan bertemu disana.”
“ Kau tidak akan bunuh diri juga, kan?” tanyanya sangsi.
Tanpa sengaja keluar suara tawa kecil, mengejek, beresonasi kejam di perbatasan ruang dan waktu kami. Kurasa gadis itu kecewa. Dia kecewa dan diam.
...
Beberapa hari berlalu, kucoba mengabaikannya. Bahkan ketika waktu tidurku menyatu kembali pada alam raya. Segalanya menjadi lebih gelap. Aku pun lapar dan semakin brutal. Entah ada berapa banyak warga kota kini telah mati kekeringan darah karenaku. Walaupun begitu aku selalu mengawasinya, bersembunyi di waktu yang kupikir tak tepat bagiku untuk menampakkan diriku sendiri.
 “ Apa kau sakit parah?”
“ Kenapa kau berpikir begitu?” aku bertanya balik.
“ Kau tak sering menemuiku akhir- akhir ini. Bahkan.. kuperhatikan dirimu saat pertama kali, kau tampak tak sehat.”
“ Menurutmu penyakit apa?” godaku.
“ Mana aku tahu,” katanya ngeri.
“ Tebaklah!”
“ Leukimia?” dia tidak begitu yakin.
Kupalingkan wajahku pada tiang lampu di sekitar kolam air mancur dan tertawa sejadinya.
“ Jangan membuatku khawatir..” dia hampir menangis.
Setelah kukembalikan fokusku padanya, kutatap matanya. “ Seharusnya aku sudah mati dari dulu, kan?”
Sepertinya dia kesal dengan permainanku.
“ Baik. Maafkan aku. Tapi sekarang aku terlihat baik- baik saja, kan?” senyumku.
Dia melirik lalu menghela napas, “ Jadi kenapa?”
“ Tidak apa- apa.”
“ Kau bohong padaku!” katanya kecewa.
“ Baiklah,” aku tak pernah berharap melihatnya kecewa padaku seperti itu, “Apa kau percaya dengan mitos yang diceritakan orang akhir- akhir ini?”
“ Tidak. Ini doktrinasi sejak kecil. Aku tidak suka hal- hal yang berbau metafisik,” jelasnya.
“ Jadi kau belum pernah ketakutan melihat hantu dan semacamnya?” tanyaku lagi.
“ Ya.. Jadi kenapa?” dia tertawa frustasi. “ Dengarkan aku. Ketakutan itu hanya ada di pikiranmu..” salah satu tangannya bergerak hampir menyentuh kepalaku. Maksudku ingin menepisnya agar dia tidak menyentuhku, namun tangan kami bersinggungan.
Jeda. Dia diam sesaat dengan segala proses pemikirannya.
“ Kau dingin,” ekspresi wajahnya berubah seketika. Dia begitu terkejut, sementara aku khawatir dalam diam.
“ Brisa..” bisikku. Tetapi tangannya sudah bergerak menelusuri lenganku dan berhenti di pipiku.
“ Apa yang terjadi? Apa yang selama ini kau lakukan?” tanyanya sambil melakukan hal yang sama padanya. Kukira dia berpikir bahwa selama ini aku bekerja keras hingga demam.
Sesaat aku diam tak bergeming. Dia mungkin akan sangat kecewa. Tidak. Dia akan ketakutan dalam periode waktu yang lama. Tak pernah disangkanya dia yang tak pernah keluar dari pikiran rasionalnya mendapati dirinya bercengkerama dengan iblis. Bahkan mungkin dicintai sang iblis.
Ketakutanku semakin menjadi- jadi. Apakah dia akan meninggalkanku jika dia tahu? Apakah aku akan menjadi kisah nyata yang sangat mengerikan untuk diingat baginya? Brisa pemberani, tetapi dia tidak pernah menjumpai hal- hal semacam ini.
 “ Aku tak mempunyai pekerjaan. Aku tak melakukan apa- apa. Aku pemangsa. Aku brutal juga rentan. Aku tak dapat keluar di siang hari karena kulitku..” kataku dalam bisikan, “ Sinar matahari dapat membakarnya hingga membunuhku.”
Dia menarik tangannya kembali dengan gemetar. Gadis ini kelihatan hancur, ketidak-percayaan terpancar dari wajah yang kelelahan itu. Rupanya ketidakpatuhanku pada aturan kami selama ini membuatku semakin sekarat.
 “ I- ini tidak mungkin..” kata- kata yang keluar dari mulutnya terasa getir untuk dirinya sendiri ucapkan. Kuperhatikan bagaimana dia semakin ketakutan setiap detiknya. Hingga akhirnya dia berhasil beranjak pergi bersama keranjangnya meninggalkanku mematung sepi.
Memang benar inilah akhirnya, aku menyesal telah mengatakannya. Tidak akan pernah ada waktu dan kondisi yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya padanya. Aku juga tak mampu membayangkan kalau gadis itu merelakan jiwanya hanya karena diriku. Zaman mungkin mempengaruhi pemikiran soal cinta tidaklah sesempit pandangan Romeo dan Juliet.
Malam- malam selanjutnya kulalui sendirian dengan berjalan menyusuri jalanan kota yang sangat sepi. Lampu- lampu pertokoan mati memperjelas lukisan nyata langit di alun- alun kota. Brisa tidak menampakkan dirinya lagi setelah malam itu. Dia tahu sekarang. Kami adalah dua makhluk yang bertolak belakang, aku pemangsa dan dialah mangsaku. Begitulah seharusnya takdir kami.
Begitu suatu malam tiba ketika bulan hampir memasuki masa baru. Kulihat sosok yang beberapa waktu ini kurindukan. Dia berdiri jauh di tengah keramaian malam. Seketika matanya menangkapku. Aku tersenyum.
“ Kita bertemu disaat yang tepat,” kata- kata itu terasa sulit saat diucapkannya. Sekali lagi, air mukanya memang sulit untuk diterjemahkan. “ Aku sudah tidak menjual mawar lagi,” tersirat bahwa dia ingin mengatakan sesuatu yang amat sangat kubenci. “ Aku akan menikah.. minggu depan.”
Ujung bibirku menarik sengaja, lebih seperti mengeluarkan ejekan egois. “ Bagus.”
Mata Brisa berkaca- kaca dan berusaha menyembunyikan itu.
 “ Sebelumnya menjelang siang.. Aku mau melihatmu,” kataku.
“ Kau tidak akan bisa melawan matahari,” katanya.
Aku menarik ujung bibirku lagi. “ Disini, Brisa.”
Sayangnya dia menghindar untuk menatapku lekat- lekat. “ Aku tidak ingin berjanji padamu,” kata Brisa mengenaskan. Matanya yang merupakan jelmaan bintang fajar memijar sepi, meredup, dan dalam sekejap akan menghilang akibat tabrakan bintang. Gadis itu pun pergi bersama angin yang mengusap air matanya.
…                                         
Siang itu sebagian permukaan bumi tertutup bayangan bulan. Setelah menunggu dengan putus asa, Brisa muncul dengan blazer tua warna merah dan genggaman di balik tubuhnya. Dibenaknya tersimpan banyak praduga, dapat kubaca itu.
Brisa mendekat. Tak kusangka dia tersenyum dengan senyuman itu. Senyumnya lebih merona dibandingkan saat malam- malam yang telah terukir nyata di luasnya memoriku. Namun hanya terhitung beberapa detik sudah bayangannya menembus sistem penglihatanku lalu terpenjara dalam memori otakku disaat redupnya kekuatan mentari yang memberikanku kesempatan terakhir.
Hingga waktunya sudah hampir lebih dari yang tata surya ini berikan kepadaku. Kepalaku menengadah kepada mentari yang tak pernah dapat berteman denganku. Lalu kudengar suaranya bergetar bagaikan refrain sebuah lagu kematian. Dan kutahu perlahan bulan bergeser membiarkan sinar matahari melukaiku..
Tiba- tiba sebuah bayangan menghalangi proses kematianku. Bayangan yang benar- benar meneduhkan makhluk yang tak dapat diterima ini.
Tubuh beserta gagang payung yang dia pegang menghantamku, “ Jangan, Viktor! Aku ingin bersamamu. Lupakan pernikahanku! Aku juga tidak peduli kau akan bersamanya di neraka. Aku hanya ingin kau selalu di dekatku selagi aku menemukanmu ada di dunia ini.”

Kuraih wajahnya. Hangat. Kehangatan bintang terbesar di seluruh jagat raya ini mengalir dari ujung jemariku, naik ke ruas- ruas jariku hingga memecahkan heningnya degup jantung tua yang akhirnya terasa bahwa selama ini bekunya luar biasa.