Selasa, 19 November 2013

Daydreaming



Daun-daun bergemerisik di antara ranting- ranting pepohonan yang tumbuh sepanjang jalan setapak. Aku melihat Logan di ujung jalan sana. Laki-laki itu terlihat tampan dengan rambut kecokelatan yang ikut menari tertiup semilir angin menjelang musim panas. Senyumnya selaras dengan pancaran bening mata birunya. Dan dia menungguku.

Setelah aku sampai, dia menggapai tanganku. “ Ayo!” katanya masih dengan senyum itu.

Logan membawaku menelusuri celah-celah hutan, menapakkan kaki dari satu batu ke batu yang lainnya sampai di seberang sungai kecil, melompati akar-akar raksasa, meniti jembatan kayu tua hingga sampai di padang rumput jauh di bagian tenggara hutan dengan pemandangan gunung juga awan-awan lembut yangmenggantung.

“ Tempat apa ini?” tanyaku dan tanganku belum ingin melepaskan genggaman tangannya.

“ Tempat kesukaanku. Indah bukan?” ia mengatakan dengan bangga.

Aku pun mengangguk setuju. “ Memang indah..”

Kemudian Logan menyenggolku dengan lengannya, “ Hei, kau tidak mau menari-nari seperti yang dilakukan kebanyakan artis di film-film?”

Dahiku mengernyit. “ Apa? Tidak. Tidak mau. Aku..”

Logan menunggu.

“ Aku malu padamu,” kataku lirih.

Dia tertawa. Dia akan semakin mengagumkan kalau begitu.

“ Baiklah..” dia menarikku ke tengah padang itu.

Dia mendudukkanku dan dia duduk tepat di hadapanku. Jujur aku sangat malu dan juga salah tingkah. Ini adalah kencan pertama kami, dimana hanya ada kami berdua di tempat indah ini. Burung-burung kecil mungkin sesekali terbang merendah atau hinggap di sekitar kami. Mungkin karena ini kencan pertama jadi hanya sedikit sekali hal yang kami bicarakan. Aku tidak punya gagasan selain.. Logan, dia sangat mempesona.

Lirikan matanya selalu membekukan pikiranku namun saat ini, di kencan pertama ini, hal itu membuatku terbang melayang jauh tinggi ke nirwana. Kulitnya yang putih kontras dengan warna rerumputan di sekitar kami melelahkanku untuk menutup mata. Suaranya bersama desis angin menjadi sebuah melodi yang memabukkanku. Logan sendiri, secara keseluruhan, dia membuatku jatuh cinta setengah mati. Dia benar-benar jelas. Dia ada di sini bersamaku. Kami. Hanya berdua.

Sulit bagiku untuk menoleh selain padanya karena padanganku hanya tertuju pada sosok setengah dewa dalam wujud manusia yang sangat manusiawi ini. Tangannya yang hangat masih di sana, menggenggam tanganku. Satu tangan yang lainnya kemudian bergerak menangkap rambutku yang ingin kabur bersama angin. Jemarinya pun menelusurinya sampai ujung, sesekali memainkan rambutku juga menyisirnya.

“ Apa yang kau lakukan?” aku hampir tertawa melihatnya melakukan itu.

Logan diam sejenak tidak menjawab. “ Aku suka rambutmu..” dia menarik sejumput rambutku dan menciumnya. Siapa yang tidak akan luluh olehnya? Jujur saja.

“ Kau suka apel,” katanya masih menempelkan hidungnya pada rambut itu.

“ Apa kau juga suka?”

“ Sepertinya..” kurasakan ada getar tawa di sana.

“ Wanginya lebih manis dari stroberi, menurutku.”

Logan pun menelusuri rambut itu sampai ke pangkal. “ Aku tak suka stroberi,” dia berbisik di telingaku.

“ Jadi..” aku pun menggerakkan kepalaku, wajahku kini berhadapan dengannya. “ Kenapa?” kutatap sejenak mata birunya yang bersinar menjagaku itu.

“ Rasanya lucu..” dia membuatku tertawa lalu perlahan mengecup bibirku.

Tiupan mesra angin dari barat daya pun akhirnya menariknya dariku. Kukira aku kehilangan dirinya. Barangkali tadi hanya khayalanku saja. Tetapi cahaya dari mentari pun menjelaskan pandanganku yang kabur karena kekhawatiran beberapa saat tadi. Logan masih di sana. Dia tersenyum, memamerkan lengkungan bibirnya pada hijaunya rerumputan dan sesekali ia mencuri pandang padaku.

Aku benar-benar menyukainya.