Kamis, 20 Februari 2014

Kumpulan Doa Sehari-hari



Doa Bangun tidur


النُّشُوْرِ وَإِلَيْهِ أَمَاتَنَا مَا بَعْدَ أَحْيَانَا الَّذِيْ لِلَّهِ اَلْحَمْدُ


Doa Berpakaian


قُوَّةٍ وَلاَ مِنِّيْ حَوْلٍ غَيْرِ مِنْ وَرَزَقَنِيْهِ (الثَّوْبَ) هَذَا كَسَانِيْ الَّذِيْ لِلَّهِ اَلْحَمْدُ


Doa Masuk WC


وَالْخَبَائِثِ الْخُبُثِ مِنَ بِكَ أَعُوْذُ إِنِّيْ اَللَّهُمَّ


Doa Keluar WC


غُفْرَانَكَ


Doa Sebelum Berwudhu


اللهِ بِسْمِ


Doa Setelah Berwudhu


الْمُتَطَهِّرِيْنَ مِنَ وَاجْعَلْنِيْ التَّوَّابِيْنَ مِنَ اجْعَلْنِيْ اَللَّهُمَّ


Doa Keluar Rumah


بِاللهِ إِلاَّ قُوَّةَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ اللهِ، عَلَى تَوَكَّلْتُ اللهِ، بِسْمِ


Doa Masuk Rumah





أَهْلِهِ عَلَى لِيُسَلِّمْ ثُمَّ تَوَكَّلْنَا، رَبِّنَا وَعَلَى خَرَجْنَا، اللهِ وَبِسْمِ وَلَجْنَا، اللهِ بِسْمِ

"Orange Amber" Chord

E                     D      A
Orange amber in the sun
E              D          A
Shinin' till the day is done
E               D      A
I remember long ago
E                D             A
Standin' in that orange world

G             D              A
How did the time just slip away?
G        D                          A
I'd do anything to make it stay

Orange amber in the sun
Shinin' till the day is done
I remember long ago
Standin' in that orange world

G                  D                            A
Been searchin' high, been searchin' low
G                     D                     A
Well there ain't no better place to go

Orange amber in the sun
Shinin' till the day is done
I remember long ago
Standin' in that orange world

E                          D          A
|---0-------0--------2-------0-----|
|-----0-------0--------3-------2---|
|-------1-------1--------2-------2-| [repeat until the end]
|-2-------2--------0-------2-------|
|------------------------------------|
|------------------------------------|

Orange amber
Orange amber
Orange amber
Orange amber

I'm not 100% sure but 90% sure :)

Rabu, 05 Februari 2014

-Rain falls-

Rain namanya. Usianya baru dua puluh tujuh tahun. Hanya terpaut delapan tahun dariku.

Pekerjaannya sebagai musisi. Dia bermain gitar dan bernyanyi. Sejak dia menjadi seorang bintang beberapa tahun silam, dia memberikan kesan yang berbeda dengan kebanyakan orang terkenal lainnya. Dia pemabuk bahkan ketika sedang bernyanyi dan memetik gitarnya. Banyak media yang melabelnya sebagai penyanyi yang tidak bisa menyanyi.

Bagaimana tidak? Dia bernyanyi sambil mabuk. Apapun yang dilakukannya di atas panggung tidak bisa dibilang sebuah pertunjukan. Media menilai itu membosankan bagi penontonnya. Rain tidak pernah memberikan aksi panggung yang bagus tetapi dia masih punya banyak penggemar.

Aku tinggal di depan rumahnya. Tapi rumahku tidak tepat berada di depan rumahnya, hanya berjarak dua rumah. Dari jendela ruang tamu kadang aku bisa melihat sosok Rain berdiri di halaman rumahnya, entah apa yang ia lakukan nampaknya ia tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.

Dia hanya tinggal bersama kedua orang tuanya disana. Ayahnya seorang akuntan, sementara ibunya dulu pernah bekerja sebagai psikologis– entah kenapa sudah tidak lagi membuka praktik.

Sewaktu kecil aku sering melihatnnya pergi keluar rumah dengan diiringi teriakan kasar dari dalam rumahnya. Semua orang disekitar rumahnya mengatakan bahwa dia bukan anak yang baik, begitu juga kata orang tuaku.

Suatu hari Brian, temanku, mengajakku pergi ke sebuah secret show. Ketika kutanya padanya, yang akan mengisi acaranya adalah Ride, band milik Rain.

“ Kalau kamu mau, aku jemput sore ini..” suara Brian di telepon.

Aku memang bukan penggemar Rain ataupun bandnya, bahkan aku tidak tahu lagu-lagunya. Tapi dorongan rasa penasaran ingin melihatnya menyanyi membuatku ingin ke acara secret show tersebut.

“ Ya. Jam berapa?”

“ Jam lima kamu harus sudah siap!”

“ Oke..”


Di depan sebuah kafe yang kelihatannya tutup terdapat kerumunan muda-mudi bergaya dengan kaos, jeans, dan sneaker yang keren. Mereka mengantri untuk masuk ke dalam melalui pintu utama yang hanya dibuka sedikit. Sementara menunggu antrian kulirik diriku dari ujung kaki sampai kaos yang kukenakan. Kurasa aku pantas berada diantara mereka.

Setelah berhasil masuk, di dalam lenganku pun ditarik oleh tangan Brian untuk menyusup ke barisan paling depan, dekat dengan panggung. Orang yang sedang bersamaku ini adalah penggemar berat Ride. Dia tahu banyak tentang band itu dan juga Rain. Brian pun suka mencibirku karena aku tidak tahu apa-apa walaupun aku tinggal satu komplek dengan idolanya tersebut.

Ketika Rain dan kawan-kawannya masuk ke panggung terdengar tepuk tangan riuh dan teriakan suka-cita. Bahkan Brian bersuit berkali-kali.

Di sela keriuhan tersebut Rain pun mulai menyapa, “ Hai..” senyumnya. 

Aku tidak pernah melihat sang bintang begitu dekat seperti saat ini. Ya, dia ada di depanku tepat. Rambut hitam kecokelatannya s acak-acakan, dugaan pertamaku mungkin karena dia baru bangun tidur, tapi setelah konser berlangsung aku tahu kalau sesekali Rain menjambak rambutnya sendiri. Entahlah, rasanya dia lebih cocok jadi bintang promosi obat sakit kepala daripada anak band.

Brian pun berbisik padaku yang intinya bahwa penampilan Rain kali ini tidak akan mengecewakan siapapun. Setelah beberapa bulan media melabelnya sebagai penyanyi yang tidak bisa menyanyi, Rain mulai merubah aksi panggungnya. Rain pun menjadi lebih sering menyapa penonton daripada sebelumnya.

“ Dia punya kelainan psikologis sih..” bisik Brian di telingaku saat band di depan sedang mengetes sound.

“ Kelainan gimana?” bisikku.

“ Dia enggak nyaman di depan orang banyak..”

“ Wajarlah kalau dia nervous..” kataku.

“ Enggak.. Masa sih nervous sampe mabuk-mabukan trus kadang mukulin photographer gitu?”bisiknya lebih menekan.

“ Kalian masih mau dengar.. ” Rain setengah tersenyum. “ ..lagu lama ini?” memainkan gitarnya membuat sebuah nada yang tidak asing bagi penonton yang lain. Seketika penonton bertepuk tangan lebih riuh dan berteriak ‘iya’. Rain tertawa pada tiga personel lainnya kemudian menghitung sampai tiga, lagu pertama pun mengalun dengan semangat. Penonton meloncat-loncat tertib mengikuti irama.

Dua, tiga lagu membuat Rain mulai minum sekaleng bir kemasaan. Suara dan permainannya mulai berubah. Namun dia memang tidak mengecewakan amat. Sebelumnya kudengar dia sering teler, bernyanyi dan berteriak tidak sesuai dengan lagu, bermain dengan sangat buruk sebelum membanting Fender Stratocaster miliknya di akhir pertunjukan.

Dan inilah akhir pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Rain yang setengah mabuk itu pun berteriak membuat suara nging panjang yang menyakitkan telinga. Lalu ia pun memainkan gitarnya layaknya sebuah kapal terbang mainan. Dia berputar-putar, sesekali terlilit kabel dan berusaha melepasnya. Dia membanting gitarnya ke lantai panggung kemudian meraih microphone dan membantingnya juga.

Tangannya memainkan kabel microphone yang sudah ringsek itu seperti tali laso. Sementara sorak-sorai juga tepuk tangan terus membahana, Rain melempar kabel itu lalu meraih Fender putihnya lagi. Berniat ingin membanting namun kakinya terjerat kabel. Rain masih dapat berdiri tetapi gitar itu malah meluncur ke arahku. Tidak sempat aku menghindar sehingga benda itu menghantamku.

Sesaat aku tidak merasakan keramaian di secret show ini sebelum bau alkohol dan sejenis cendana memenuhi hidungku. Aku sadar seseorang sedang memelukku. Tubuhnya basah oleh keringat. Sejenak aku merasa takut. Tetapi bisikan itu membuatku tenang.

“ Maafkan aku..” bisiknya lembut.

“ Aku tak apa..” kataku.

Salah satu telapak tangannya memegangi pipiku. Dingin. Yang dapat kulihat hanya rambut hitam kecokelatannya yang basah menutupi sebagian wajahnya. Samar kulihat matanya sayu dengan lingkaran hitam disekitarnya. Bola matanya berwarna biru dengan pandangan yang tidak fokus. Serasa aku sedang ditatap lekat oleh Curt Cobain.

Rain pun menempelkan jidatnya di jidatku. “ Maafkan aku..” dia terus berbisik seperti itu. Aku pun hanya dapat memejamkan mata, menahan harum memuakkan itu, dan mengangguk pelan.

“ Maafkan aku.. oke?”dia pun mengecup kepalaku. Sebelum pergi dia memberikan Fender putih itu padaku dan membuat seluruh kafe bertepuk tangan. Sepertinya Brian yang masih berada di sampingku merasa iri. Dia tahu aku bukan penggemar Ride maupun Rain, tapi aku malah dapat gitar listrik bekas ini.

“ Dia cari-cari kesempatan..” begitu kata Brian saat mengantarku pulang.

“ Bilang aja kamu kepengin..” balasku dengan nada mengejek.

“ Ih, emang aku cowok apaan?” Brian sewot.

“ Kamu kepengin ini..” aku tertawa sambil mengangkat gitar keramat itu sampai di atas kepala dengan kedua tanganku.


Seminggu setelahnya Brian terus-terusan mendesakku untuk menjual gitar itu padanya. Terusterang aku sebenarnya tidak mau karena aku mulai menyukai Rain sejak kejadian itu. Memang media dan lingkungan disini boleh menjelek-jelekkannnya, tetapi mereka tidak tahu bahwa sebenarnya dia memiliki hati yang baik. Rain tidak bermaksud membuatku terluka, namun aku terluka, dia memelukku untuk kesalahannya.

Tapi Brian berjanji akan membayarku mahal. Aku memang sedang butuh uang untuk mendaftar ke perguruan tinggi yang kusuka. Bagaimana lagi? Tidak kehilangan akal juga, aku pun meminta harga yang lebih mahal jika kutambahkan tanda tangan asli milik Rain di badan gitar tersebut. Akhirnya kami pun sepakat.

Malam Selasa aku pun berniat mengetuk rumah Rain di seberang. Setelah aku keluar dari pintu rumahku sendiri, aku mendengar keributan berasal dari rumah itu. Aku pun menjadi ragu untuk melangkah ke halaman rumahku sendiri. Namun kuberanikan diri untuk terus berjalan mendekat.

“ STOP!” suara itu milik Rain.

“ KAU SUDAH GILA! DIA IBUMU!” seru seorang laki-laki yang suaranya lebih berat.

Dari luar rumahnya, melalui jendela yang tertutup gorden putih, dengan bantuan cahaya lampu aku pun dapat melihat dua siluet sosok laki-laki, milik Rain dan ayahnya.

“ Hei, jangan telepon siapapun!” suara Rain pada seseorang yang juga di dalam sana selain ayahnya. “ Letakkan telepon itu!”

“ Cepat panggil polisi!” perintah ayahnya pada seseorang itu.

“ Taruh teleponnya!” siluet Rain melesat, menghilang disusul bunyi keras benda membentur tembok dan teriakan perempuan yang masih berbicara di telepon.

“ DASAR KAU ANAK DURHAKA!” seru ayahnya disusul dua buah kaki meja memecahkan kaca jendela tempatku mengawasi mereka. Terkejut. Beruntungnya aku berada di samping jendela.

“Aku cuma ingin dia berhenti melakukan hal-hal bodoh itu!” erangnya.

“ Kau anakku, mana mungkin aku menyakitimu..” suara rintihan seorang perempuan.

“ Ya. Tapi sekarang kau sudah bukan seorang psikolog lagi. Kau menyiksaku dengan tes-tes konyol itu! Aku bukan kelinci percobaan! Ibu benar-benar sudah gila.. Yang ibu pikirkan hanya untuk membalikkan pamor menjadi seorang dokter konyol lagi dengan menulis pengalamannya berjuang sebagai ibu seorang bintang yang merosot karena alkohol dan ganja..”

“ Itu tak benar..” ibunya merintih.

Rain memotong. “ Bu, kau yang mengenalkanku pada barang-barang itu.. Kau yang membuatku jatuh cinta pada ganja! Kau yang selalu menuangkan alkohol di gelasku!” lanjutnya, “ Kau seharusnya sadar siapa yang gila disini! IJINMU SUDAH DICABUT! Kau bukan dokter lagi!”

“ Raaiiiiiiiin!!” jerit ibunya. “ Diam kau.. diam..”dan menangis.

“ DENGARKAN AKU BICARA!” erangnya lagi.

Suara alarm polisi dari kejauhan pun terdengar.

“ Bu, tolong hentikan.. Aku tak ingin menjadi lebih buruk lagi. Aku tak akan menyakitimu. Aku janji..” Rain memohon dengan sangat frustasi.

Beberapa detik berlalu ibunya pun kemudian berbicara dengan tertawa ganjil. “ Sebaiknya kau bersiap..”

Ketika suaranya semakin mendekat, kudengar ayahnya berusaha menahannya. Tapi Rain berhasil keluar lewat jendela di samping tempatku terdiam. Rain jatuh terguling ke rerumputan bersama serpihan-serpihan kecil kaca. Dia bangkit dengan posisi menghadap ke arahku. Tubuhnya penuh luka.

Sejenak dia memandangiku juga Fender putih ditanganku dan mengatur napasnya. Sepertinya aku kelihatan bagaikan pajangan taman yang tak perlu dipedulikan dimatanya. Dia pun meninggalkanku, lari ke arah jalan yang berlainan dengan yang akan dilewati polisi.

Mobil dengan lampu sirine biru itu pun datang. Empat orang polisi turun dari mobil. Seorang polisi masuk ke dalam rumah Rain. Tiga yang lainnya mengejar Rain. Kulihat di kejauhan para polisi itu dapat menangkapnya. Dia pun mencoba melawan sampai akhirnya salah seorang polisi melumpuhkannya dengan timah panas. Kedua pergelangannya pun berhasil diborgol. Suara tembakan itu membuat beberapa tetangga keluar rumah, mendekat dengan raut wajah bertanya-tanya.

Rain yang terpincang-pincang pun digiring ke mobil polisi.

“ Bawa dia pergi! Dia bukan anak kami! Teganya dia pada ibunya sendiri..” suara parau penuh getar marah keluar dari mulut seorang perempuan paruh baya yang kutahu adalah ibu Rain.

Sebelum masuk ke mobil, wajah angkuh Rain tidak memandang apapun di sekitarnya selain padaku. Tatapan itu berbeda. Aku benar-benar tidak dapat bergerak maupun berbicara. Apa yang kudengar dan yang terjadi padaku seminggu lalu berbeda dengan yang kudengar dan kusaksikan barusan. Mengapa?