Sabtu, 05 Oktober 2013

Going Gone


-Going Gone-

Oleh: Sarwendah Noor Aishah


Matahari menggantung tinggi sedikit lebih ke bagian utara. Dedaunan berkilau keemasan diterpa sinar mentari. Angin bertiup ke arah barat, lembut dengan sensasi liarnya. Di bawah naungan musim gugur, di dunia bagian selatan, seseorang telah membuatku turun ke sana.


Tidak sulit menemukannya, jiwa yang masih penasaran itu, aku dapat mengetahui hawa penasarannya yang tidak pernah berpindah sejak tujuh jam terakhir. Dia duduk di atas pagar kayu di bawah pohon apel. Matanya lurus menatap kekosongan. Sepertinya dia pun tidak menyadari kedatanganku.

“ Apa kau punya kenangan di kebun ini?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.

Lama tidak ada jawaban, walau akhirnya yang kudapati ia malah bertanya hal lain padaku. “ Apa kau tersesat?”

Pikirku memang wajar kalau dia bertanya seperti itu.

“ Aku Elda. Aku tahu benar jalanan di sini, bahkan seluruh dunia ini. Mungkin kau yang tersesat, Claude.”

Roh laki-laki muda itu mengamatiku. “ Siapa kau?”

“ Aku yang akan membawamu ke tempat dimana seharusnya kau berada,” kataku.

“ Kau?” nadanya meninggi namun ada getar tawa yang siapapun akan menangkapnya dengan jelas. “ Lihat dirimu! Bahkan kau tidak punya sayap untuk terbang. Mungkin kau gadis indigo yang suka bermain-main dengan hal astral.”

Dia tahu kalau dia sudah mati. Kukira tadinya dia adalah roh yang tidak menyadari kalau dirinya sudah mati. Kemudian Claude diam. Wajahnya yang sangat angkuh mendongak memandang langit kelam.

“ Perlu kau ketahui, jika kau tidak segera ikut denganku kau tidak akan..”

Lalu kudengar Claude terkekeh. “ Ada apa denganmu?” ia menyahut.

“ Kau harus pergi bersamaku atau kau di sini, sengsara, terjebak bersama iblis dan roh-roh sengsara lainnya.. Kau tak akan bisa lagi meminta untuk pergi kemana seharusnya kau berada.”

“ Hei.. Biarkan aku terperanjat di sini!” Claude menginterupsi lagi, kali ini ia tersenyum. Bentuk bibirnya sedemikian rupa. Bangga. Lalu ia membisikkan sesuatu tidak kepada siapa-siapa selain dirinya sendiri.

“ Lalu apa yang masih menjadi urusanmu?”

Claude memandangku, menyipitkan matanya. Sangsi. “ Apa?”

Sungguh tidak membantu, lalu dia berteriak: “ APA YANG MENJADI URUSANKU?” lanjutnya, “ SIAPA KAU?” kemudian berbisik, “ Beraninya..” dan berteriak lagi, “ APA HAKMU UNTUK MENANYAKAN URUSANKU?”

Akupun menatapnya lekat- lekat. “ Hakku adalah mengantarmu pada hakmu. Karena hakmu ada padaku. Apa kau benar-benar ingin tetap di dunia ini?”

Dia diam beberapa saat dalam perangainya yang keras juga sulit itu. Mencerna kata- kataku dalam proses pemikirannya yang rumit. “ Entahlah,” tiba-tiba Claude melunak, suaranya pelan, wajahnya merana dalam keangkuhan itu. Claude yang super menyebalkan ini pun berdiri, kemudian menyanyikan sebuah lagu sambil melangkah hingga menghilang kabur bersama angin.


Sungguh aku tidak bingung, namun Claude itu membingungkan. Dia tidak berbahaya, dia pun tidak memberontak, tidak juga berusaha untuk melarikan diri seperti kebanyakan roh-roh yang tidak menginginkan kematian. Tetapi Claude tahu dirinya sudah mati. Apa yang masih menjadi urusannya di dunia ini? Hal itu semestinya sangat besar dan berarti baginya. Dan di sinilah aku, selain menjemputnya menuju dunianya yang selanjutnya, aku harus membantunya menyelesaikan apa yang masih mernjadi urusannya sehingga aklamasinya sempurna sebelum iblis menguasai pikirannya.

Beberapa saat kemudian kutemukan ia di sebuah makam, letaknya sangat jauh dari perkebunan apel tadi, mungkin bukan di kota yang sama.

“ Siapa yang sedang kau pandangi?” aku berdiri di belakang roh Claude yang duduk di antara anak tangga dekat pintu gerbang.

Claude menelengkan kepalanya dan berbisik, “ Si anak indigo ini bisa mengejarku?”

“Apa cewek itu yang membuatmu betah di sini?” tanyaku sambil memperhatikan seorang gadis dengan mata sembab terselubungi kesedihan berdiri memandangi sebuah pusara baru dengan nama Claude terukir di sana.

“ Siapa?” katanya sinis. “ Aku sama sekali tidak mengenalnya,” dia beranjak keluar dari pemakaman.

“ Dia berdiri di depan makammu.. Masa sih kau tak kenal?” ujarku dan mengejarnya.


Kami berada di sebuah kamar yang tidak begitu luas, lantai dua sebuah rumah di pinggiran kota. Terdengar suara lagu yang persis sama dengan lagu yang didendangkan oleh Claude beberapa waktu lalu. Sebuah lagu yang singkat, lagu itu mengalun dengan melodi yang damai dan indah.



We through the darkness underground

The sun’s waiting to be found

Trees whisper to the river..

Running free through the sea

Out there, yeah, yeah.. yeah…



Claude bernyanyi di sepanjang lagu, suaranya lebih lirih. Ia berjalan memeriksa kamar yang sebenarnya adalah miliknya. Aku mengetahuinya karena ada beberapa poster dan cover majalah dengan gambarnya terpampang di dinding, melekat di seberang tempatku berdiri sekarang. Dia seorang musisi, inspirasi bagi pemuda sebayanya, idola banyak gadis di seluruh negeri, dan satu dari sekian bintang yang dibenci para reporter juga jurnalis.

“ Inikah sebabnya kau agak menyebalkan?”

Claude terdiam di dekat asal suara nyanyian.

“ Aku tidak akan menghebohkan dunia manapun karena aku mengikutimu dan mencoba membujukmu. Paling tidak aku hanya punya laporan tentangmu. Aku tidak pandai mengarang cerita. Kami tidak pandai mengarang..”

“ El,” dia menoleh ke belakang punggungnya, padaku. “ Mengapa mereka bisa ditolak? Roh-roh sengsara itu.. kenapa tidak bisa kembali ke tempatnya yang semestinya?”

Jujur aku senang dia bertanya seperti itu. “ Karena mereka bukan jiwa yang utuh lagi..” jawabku.

“ Apa itu jiwa yang utuh?”

“ Sepertimu,” lanjutku, “ Di dunia ini ada banyak sekali kasus jiwa-jiwa menjadi penasaran karena tidak menginginkan kematiannya atau memiliki dendam. Ada di antara mereka yang pulang bersama kami dan mengikhlaskan itu semua, sebab mereka masih mendengarkan hati nurani mereka. Inilah kelemahan yang diincar oleh para iblis. Hati nurani. Penghasutan itu akan terus berlanjut karena iblis memiliki dendam yang begitu besar pada manusia. Iblis ingin jiwa-jiwa itu lebih sengsara darinya, terjebak di dunia ini sampai di akhir waktu.”

“ Tapi kau juga menghasutku..” Claude tersenyum.

“ Iblis yang kejam itu ada di dalam diri setiap manusia. Sesuatu yang tidak terlihat namun dapat dirasakan, sesuatu yang selalu bertentangan dengan keinginan hati kecilmu, yang membuatmu lemah sehingga menyerah. Menjadikanmu kejam, serakah, pendendam..”

Claude mengeluarkan suara seperti menghela napas. “ Pernah ada seorang anak kecil bertanya padaku: Claude, apakah kau percaya pada iblis? Kau tahu jawabanku apa?” dia tak perlu menunggu tanggapanku dan meneruskan, “ Kukatakan padanya: Tentu saja, sebab akulah iblis itu.” Roh pemuda itu mengembangkan bibirnya, tersenyum ganjil. Senyuman itu tidak selaras dengan ekspresi matanya yang menerawang entah kemana, mengambang diangan-angannya. “ Kau benar.”


Sekitar dua jam kami berdiam diri di kamar ini. Tidak ada lagi suara lagu. Lagu terakhir sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Lagu terpanjang dari semua lagu yang telah diputar. Petikan-petikan dari gitar listrik sebagai pembukanya kemudian mengalun bersama alunan romansa gitar akustik, bass dan pekursi menjadi sebuah harmonisasi melodi antar angkasa. Beberapa kali di bagian terakhir suara lengkingan gitar listriknya menyayat kehampaan yang tercipta di atmosfer lagu tersebut. Mungkin jika aku manusia pasti aku sudah tergila- gila pada Claude sebagai pencipta lagu tersebut.

Tiba- tiba pintu kamar bergerak terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk kedalam. Salah satu kakinya pincang ketika berjalan. Kulitnya sudah mulai keriput, sangat jelas terutama di bagian wajah. Matanya yang biru memancarkan ketenangan dan kesabaran. Alisnya persis seperti milik Claude, dengan sedikit perbedaan bahwa milik putranya tersebut melengkung tegas seperti ciri khas milik laki- laki lainnya.

Wanita tua itu pun mencapai sebuah pemutar musik di dekat jendela. Jarinya yang lemah itu menekan sebuah tombol. Lagu-lagu bertema mentari, bintang, hujan, dunia, serta rumitnya pikiran seorang penyendiri pun kembali mengisi keheningan di kamar ini.

“ Dialah alasanku..” kata Claude lirih. “ Aku bukan anak yang baik. Ya, aku memang manis saat masih kecil. Selalu sendirian. Semua orang bilang aku ini anak yang sangat manis. Jarang bicara. Sedikit sekali orang yang mengenaliku dan kuputuskan bahwa aku juga tidak mau mengenali orang yang ‘kelihatannya’ tidak mengenaliku. Aku suka berprasangka.”

“ Kau tahu, menjadi Claude yang terkenal bukanlah tujuanku. Tujuanku hanyalah ingin melampiaskan perasaanku saja. Aku suka bernyanyi. Aku suka bermain gitar. Kadang aku bermain piano.. Ketika semua orang mengenaliku, aku tak senang dengan keadaan itu: gadis-gadis yang tergila-gila, anak laki-laki yang bersorak-sorai, jurnalis-jurnalis yang munafik, fotografer dan sorot lampu flashnya. Makanya aku tak pernah serius dengan apa yang kulakukan di atas panggung dan benci sekali yang namanya wawancara.

“ Aku pernah bertengkar hebat dengan ibuku. Entah siapa yang salah.. Aku mabuk dan marah lalu memukulnya. Kulihat dia menangis tetapi aku tak bergeming. Kemudian aku melawan petugas yang berusaha menangkapku. Sejak saat itu aku dan ibuku tidak pernah berhubungan.

“ Kejadian yang terakhir ini adalah hal yang membuatku sangat menyesal. Aku berjalan sendirian di kota, tengah malam, setengah mabuk. Mungkin ini yang disebut dengan ‘mati konyol’. Di persimpangan jalan aku tak memperhatikan rambu-rambu dan keadaan di sekitarku. Sedan itu membuat tubuhku terpelanting. Aku pun koma selama dua hari. Ayahku telah tiada. Ibuku tak ada di sana. Seharusnya dia yang ada di sampingku. Aku ingin begitu.”

Claude memandangku tanpa harapan, “ Dia hanya hadir saat pemakaman. Kulihat, sekali lagi, dia menangis.”

Sengaja aku tersenyum padanya. “ Dia sangat menyayangimu. Hati seorang ibu bagaikan baja, Claude. Betapapun kau pernah melukainya, dia selalu menyayangimu tanpa sepengetahuanmu, memikirkanmu, mengharapkanmu kembali.”

“Dia selalu memutar lagu-laguku akhir-akhir ini. Dia merindukanku..” kata Claude.

Sepertinya inilah kesempatanku untuk membujuknya. “ Dia pun menginginkanmu berada di tempatmu.”

“ Tetapi dia menginginkanku ada di dekatnya!” gertak Claude.

“ Claude, kau pernah kehilangan ayahmu. Apa yang kau inginkan? Kau pasti berdoa agar ayahmu berada di tempat yang terbaik.”

“ Lalu aku menyusulnya dan tidak ada yang menemani juga melindungi ibuku di dunia ini?”

“ Kau transparan. Menyentuh benda pun tak bisa. Kau hanya dapat melihat..”

“ Kau sangat tidak membantu, anak indigo!”

Ketika Claude hendak menghilang melarikan diri, wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya berbisik di tengah lagu yang Claude dendangkan beberapa waktu lalu. “ Aku telah memaafkan anak itu sejak dia pergi meninggalkanku terluka malam itu.. Aku menyesal tidak menungguinya untuk yang terakhir kali. Semoga dia tenang dan berkumpul bersama ayahnya di tempat yang sempurna.”

Claude tidak bergeming. Dia menangis tak bersuara.

...

“ El, aku siap disiksa karena telah menyakitinya,” kata Claude sambil memandang studio sekaligus rumahnya itu untuk terakhir kalinya.

“ Doa dan maaf ibumu akan meringankan hukumanmu,” hiburku.

Pemuda ini sudah siap. Sebuah suara menggelegar, suara kepakan sayap yang kusembunyikan. Cahaya yang lebih menyilaukan dari sinar mentari menyelubungiku. Kuulurkan tanganku padanya.


Claude menerimanya dan terbang bersamaku, pergi dari dunia ini sementara wanita paruh baya, ibu Claude, di ambang jendela menyaksikan pemandangan yang belum pernah terjadi selama hidupnya. Wanita itu tersenyum melihat putranya tenang, terbang bersama musim gugur, angin; dan jiwa kami pergi ke nirwana.



12/07/13 - 04/10/2003